banner 728x250
Hukum, News  

Pandangan Hukum Terkait Tuntutan Yang Dilayangkan Oleh Para Kepala Desa Terkait Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa Dari 6 Tahun Menjadi 9 Tahun

Oleh : Iwan Sumiarsa, S.H dan Tita Nurhayati, S.H.

Kepala Desa / Kades menurut Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 adalah penyelenggara urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam menjalankan perannya, mereka dibantu oleh perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. Berdasarkan Pasal 26 ayat 1 menyatakan bahwa Kades bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Dilansir dari media tempo.co, para Kepala Desa alias Kades menggelar aksi di depan Gedung DPR RI, pada Selasa pekan lalu, 17 Januari 2023. Mereka menuntut agar pemerintah dan DPR RI merevisi Undang-Undang tentang Desa. Dalam aksinya, mereka menuntut masa jabatan Kepala Desa yang semula 6 tahun menjadi 9 tahun per periode. Selain itu, ada juga tuntutan agar pemerintah memperbesar alokasi dana desa.
Berpijak pada Pasal 39 tentang Desa : Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Kemudian berangkat dari permasalahan diatas para kades menilai bahwa waktu enam tahun belum cukup untuk membangun desa, sehingga butuh waktu lebih lama lagi, yakni sembilan tahun untuk membangun desa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Jika kita lihat dari sisi positifnya, ketika masa jabatan kepala desa tersebut diperpanjang menjadi 9 tahun, maka kemungkinan biaya pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades) menjadi lebih efisien dan pembangunan desa akan lebih maksimal untuk kesejahteraan rakyat. Menurut para Kades waktu enam tahun dinilai belum cukup untuk pembangunan desa secara maksimal karena perlu penyesuaian pasca pilkades membutuhkan waktu cukup lama agar situasi kembali kondusif.
Namun pada dasarnya hukum haruslah mencerminkan suatu kepentingan dan perasaan keadilan rakyat. Oleh karena itu, hukum harus dibuat dengan mekanisme demokratis. Hukum tidak boleh dibuat untuk kepentingan kelompok tertentu atau kepentingan penguasa yang akan melahirkan negara hukum yang totaliter (Bintan R.Saragih, 2014:11-12). Hukum tertinggi di suatu negara adalah produk hukum yang paling mencerminkan kesepakatan dari seluruh rakyat, yaitu Kontitusi. Dengan demikian aturan dasar penyelenggaraan negara yang harus dilaksanakan adalah konstitusi. Semua aturan hukum lain yang dibuat melalui mekanisme demokrasi tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Hal ini karena aturan hukum yang dibuat dengan mekanisme demokrasi tersebut adalah produk mayoritas rakyat, sedangkan konstitusi adalah produk seluruh rakyat.

Ketidakcukupan waktu bagi kepala desa dalam menjalankan visi dan misinya selama periode masa jabatan 6 tahun, bukanlah merupakan suatu persoalan konstitusionalitas, terlebih apabila kita bandingkan dengan periode masa jabatan pejabat publik lain yang juga dipilih dengan secara langsung, yakni hanya ditentukan 5 tahun dan dapat dipilih lagi untuk sekali masa jabatan, sehingga jika menjabat 2 kali masa jabatan menjadi maksimal 10 tahun. Sementara, masa jabatan Kepala Desa dapat maksimal hingga 18 tahun. Oleh karena itu, seharusnya Kepala Desa tersebut dapat memaksimalkan pelaksanaan visi dan misinya jika terpilih kembali.
Melihat dari sisi negatifnya jika kita analogikan Kepala Desa 9 tahun kemudian indikasi apabila masyarakatnya percaya maka akan dipilih lagi sehingga masa jabatan Kades adalah maksimal 27 tahun. Terlalu lama untuk re-generasi, tidak sejalan dengan percepatan dinamika perubahan dan digital informasi. Hal ini akan menimbulkan suatu persoalan baru, akan ada potensi risiko besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Karena, semakin lama suatu kekuasaan maka kemampuan untuk mengumpulkan sumber daya menjadi lebih kuat. Dengan begitu, menjadikan kekuasan menjadi lebih absolut.

Terlebih pada tuntutan perpanjangan masa jabatan Kades ini belum ada landasan filosofis, sosiologis maupun praktis yang mendasarinya.
Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ketua Firli Bahuri yang menyatakan bahwa di 601 desa terdapat 686 pihak perangkat desa dan Kades yang terlibat dalam kasus korupsi sejak tahun 2012 hingga 2021. Firli juga menyebutkan bahwa pemerintah telah meluncurkan dana desa sebesar 470 Triliun sepanjang 7 tahun dari 2015 hingga 2022 yang diperuntukan untuk kesejahteraan rakyat, memberantas kemiskinan serta memperbaiki perekonomian masyarakat desa. Akan tetapi data terbaru menunjukan bahwa 12,29% masyarakat terjebak kemiskinan. Ratusan Kades yang terjerat korupsi ini bukanlah angka yang kecil, sehingga ini juga perlu dijadikan sebagai catatan penting.
Kiranya ada hal lain yang dirasa lebih mendesak untuk diperhatikan dibanding persoalan masa jabatan, agar kepala desa dapat bekerja semakin baik untuk membangun desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa. Peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) seorang Kades juga harus mendapat prioritas yang penting dari pemerintah karena bagaimana mereka bisa membangun desa secara baik melalui inovasi berkearifan lokal apabila kualitas SDM Kades masih rendah. Revisi UU Desa pun harusnya dilakukan dengan tujuan utama mendorong terjadinya percepatan pembangunan desa di segala aspek kehidupan dan upaya melakukan pemberdayaan masyarakat desa agar tercapai desa yang mandiri.
Diperlukan juga untuk survey tingkat kepuasan kepemimpinan dari masyarakat terhadap Kades apakah mereka puas dengan kepemimpinan setiap Kadesnya. Karena pada dasarnya ujung tombak Pembangunan Nasional adalah ada pada Pembangunan Desa. Menjadi penting kemudian sebagai bentuk pembuktian kinerja para Kades seluruh Indonesia, maka perlu untuk mengaudit dana desa secara serempak guna meningkatkan transparansi terhadap hasil dari kinerja Kepala Desa agar masyarakat tahu dengan kinerja yang dihasilkan oleh Kepala Desa selama menjabat. Dengan demikian perlu juga untuk membentuk team investigasi dan pendampingan Kades supaya pengembangan potensi desa dapat dimaksimalkan.

Berangkat dari hal tersebut diatas lunturnya etik, moral dan ketaatan pada hukum telah nyata pada penyelenggara negara. SDM Kades haruslah ditingkatkan sehingga tidak ada urgensinya menambah masa jabatan. Justru pengawasan terhadap pemdes harus lebih diperketat, BPD harus lebih diperdayakan sebagai penyeimbang Kades dan perangkat di Pemdes. Jika 6 tahun dirasa tidak optimal membangun desa maka yang bermasalah jelas kapabilitas Kades, bukan menambah masa jabatan. Sehingga persoalan waktu bukanlah suatu masalah tetapi kemampuan kepemimpinan Kadesnya lah yang menjadi masalah. Apa yang sudah diatur undang-undang biarlah itu berjalan sesuai konstitusi karena jika terlalu lama menjabat tentu akan menjadi rawan kepentingan. Sejatinya periodesasi Kepala Desa yang lama tidaklah baik untuk demokrasi dan ini merupakan bentuk nyata usulan para Kades yang benar-benar melawan demokrasi dan mematikan demokrasi desa.

Tidak menutup kemungkinan hal-hal negatif terjadi disamping lemahnya sistem pengawasan di tingkat desa juga mendorong tumbuh suburnya praktik KKN (Kolusi Korupsi Nepotisme. Karena pada dasarnya “Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu masuk” bagi tindak korupsi, sehingga bukan saja rentan melainkan berpotensi. Kekuasaan yang terlampau besar akan melahirkan tindakan koruptif. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Lord Acton, seorang guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris pada abad ke-19 yang menyatakan bahwa : “POWER TENDS TO CORRUPT, AND ABSOLUTE POWER CORRUPT ABSOLUTELY” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).

Kesimpulannya adalah kita harus setuju dengan peraturan yang lebih menguntungkan masyarakat banyak. Wacana perpanjangan masa jabatan Kades ini jelas bertentangan dengan konstitusi, kemudian yang perlu kita ketahui dan pahami adalah bahwa konstitusi ini merupakan sebuah aturan dasar yang menjadi sumber dari pada pembentukan hukum yang mana konstitusi haruslah menjauhi dari tindakan-tindakan penyelewengan akibat kekuasaan. Artinya konstitusi harus membatasi kekuasaan, pembatasan kekuasaan ini penting bagi para penyelenggara negara. Jika masa jabatan Kades ini relatif lebih lama dari Bupati, Gubernur, Presiden maka akan dimungkinkan seorang Kades melakukan abuse of power (menyelewengkan kewenangan) sehingga tuntutan masa jabatan Kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun ini adalah inkonstitusional, tidak sesuai dan bertentangan dengan semangat konstitusi. Karena terciptanya oligarki berawal dari kekuasaan yang cukup lama yang kemudian akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat dimasa mendatang serta mengancam pemenuhan hak asasi manusia.***

Penulis: Iwan Sumiarsa,S.H. dan Tita Nurhayati,S.H.Editor: Didi Supriadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *