banner 728x250
Hukum  

HARAMKAH CAWE CAWE UNTUK PEJABAT PUBLIK YANG MASIH AKTIF

Oleh : Iwan Sumiarsa, S.H (Pembina LBH KR) dan Tita Nurhayati, S.H (Paralegal)

Menjelang Pemilu 2024, kondisi bangsa saat ini sedang banyak dibicarakan oleh berbagai pihak. Hampir dari seluruh awak media massa menurunkan berita terkait pernyataan Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa demi kepentingan bangsa dan negara, ia akan cawe-cawe pada Pemilu 2024 mendatang. Oleh sebab itu kini Presiden Jokowi diterpa banyak kritik dari kalangan masyarakat terutama dari para intelektual, tokoh politik, pemerhati politik dan bahkan tokoh agama sekalipun turut serta ikut menyinggung hal tersebut dan sebagian besar dari mereka pun terlihat cukup menyayangkan akan sikap Presiden Jokowi dengan adanya pernyataan tersebut karena dinilai tidak netral atau memihak dan berpotensi mengkriminalisasi lawan politiknya.

Sejatinya, Presiden itu merupakan jabatan negara dan Jokowi itu pejabat negara aktif, masih Presiden Republik Indonesia. Maka berdasarkan Pasal 71 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 2015 menerangkan bahwa Pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa Kampanye.

Sikap cawe-cawe ini juga dinilai tidak sejalan dengan TAP MPR RI yang masih berlaku, yakni TAP MPR Nomor VI/MPR/2021 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Khususnya tentang salah satu poin yang berkaitan dengan etika politik dan pemerintahan, yaitu “Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara”

Disini, bagaimana jalannya seorang Presiden sebagai pejabat negara mempersatukan jabatan yang bersamaan sebagai Presiden yang memimpin seluruh rakyat dan sebagai seorang petugas partai, sedangkan kader partai maupun para kritikus yang oposisi juga berstatus sebagai rakyat? Walaupun secara eksplisit, norma konstitusi memang tidak mengatur terkait larangan Presiden cawe-cawe Pilpres, tetapi bukan juga tiba-tiba menghiraukan Government Ethic / standar etika pemerintahan. Karena bukankah secara etik, Presiden sebagai bagian dari Lembaga negara harus bersikap netral, meskipun mempunyai pilihan politik pribadi?

Sesungguhnya, pernyataan mengakui cawe-cawe untuk membenarkan apa yang dilakukan terkait Pilpres 2024, dalam tradisi konstitusi memang cawe-cawe itu dinilai tidak tepat dan tidak patut dilakukan oleh seorang Presiden. Jika dipaksakan benar, maka akan banyak muncul ide-ide pembenaran yang menimbulkan pertanyaaan publik.

Oleh karena itu dalam hal ini, Presiden itu milik semua rakyat tanpa membedakan, sehingga akan sangat beretika kalau ia dapat bersikap netral sampai habis masa jabatan. Kewajiban sebagai Presiden disini juga jauh lebih besar daripada haknya sebagai kader partai. Kemudian cawe-cawe juga berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaannya dengan terlibatnya parpol dalam urusan program pemerintahan. Maka, Presiden semestinya netral dan tanpa keberpihakan. Itulah etikanya, kalau sebagai kader partai tentunya paling elok dalam acara internal partai saja. Kalau sebagai Presiden dia adalah pemimpin negara dan rakyat apapun partainya.

Kemudian, apakah cawe-cawe ini berpotensi memakai fasilitas negara juga? Mungkin saja jika fasilitas negara dipakai rapat untuk menyiapkan putra mahkotanya (dalam arti mengkondisikan calon presiden yang diusung atau dikondisikan dari hasil cawe-cawe menjelang pilpres) potensi memakai anggaran negara mungkin saja itu bisa terjadi kalau dilihat dari etika jabatan yang menjadi standar pemimpin yang adil dan ideal yaitu pemimpin Umar Bin Abdul Azis yang mana dalam kisahnya Ketika beliau diketuk pintunya oleh tamu lalu Umar Bin Abdul Azis bertanya : “Apa yang akan kamu sampaikan sehingga kamu mendatangi ke tempat kerjaku? Apakah urusan negara atau urusan pribadi?” Jawab tamu “Bahwa aku datang ke tempat kerja khalifah adalah untuk urusan pribadi” Jawab Umar Bin Abdul Azis “Oh baiklah kalau begitu saya akan matikan lampu kerjaku karena lampu yang menerangi kita adalah minyaknya diambil dari uang kas negara” maka akhirnya lampu dipadamkan dan berbincang-bincang dengan tamunya dalam keadaan gelap. Itulah etika yang harus ditanamkan atau dijadikan tauladan Bersama oleh siapapun yang menjadi pejabat negara. Karena khawatir terjadi operasional politik terselubung.

Disisi lain juga cawe-cawe dimaknai dengan penuh dugaan negatif adalah bukti ketidakpercayaan pada integritas pelakunya. Publik sudah melihat bukan cuma fasilitas negara yang selalu diobral untuk kepentingan kelompoknya sendiri, tetapi juga hukum dan tata kelola pemerintahan dijadikan instrument politik.

Berangkat dari hal tersebut diatas, bagaimana pun niat mulia akan suatu kepentingan yang diwakili Presiden, sudah semestinya tidak boleh cawe-cawe.

Berdasarkan sumpahnya, seorang Presiden harus tetap konsisten untuk mengawal dan melindungi Pemilu luber dan jurdil ( Langsung, Umum ,Bebas, Rahasia ,Jujur dan Adil ) sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945, dalam hal ini ia telah bersumpah untuk berlaku seadil-adilnya. Yang artinya adalah adil dari jiwa pikiran sampai dengan perbuatan.

Oleh karena itu sebagai Presiden yang melindungi konstitusi tidak boleh mendiskriminasi siapapun, bahkan sekali pun itu adalah musuh politiknya sendiri demi menjaga Marwah demokrasi dan konstitusi.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *