banner 728x250
Hukum, News  

LBH Keadilan Rakyat Mendukung Putusan MK yang Menolak Legalisasi Perkawinan Beda Agama

Media Keadilan Rakyat – Perkawinan atau dengan kata lain biasa disebut dengan pernikahan merupakan suatu cara yang dipilih Allah yang bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup umat manusia dimuka bumi ini serta untuk menjaga suatu kehormatan dan martabat kemuliaan manusia.

Bagi seorang muslim perkawinan ini disyari’atkan supaya manusia dapat memiliki keluarga dan keturunan yang sah dalam rangka untuk mencapai kehidupan bahagia di dunia dan akhirat. Menurut Kompilasi Hukum Islam / KHI : Perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau “mitsaqan gholidan” untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Di Indonesia aturan perkawinan ini diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang ini merupakan bagian dari hukum positif Indonesia yang sudah berlaku secara formal dan yuridis. Selain itu, UU Perkawinan merupakan pijakan atau pegangan yang harus diakui oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia.

Seiring dengan perkembangan masyarakat Indonesia, persoalan perkawinan semakin kompleks ditengah keberagamaan perbedaan.

Pada hari Selasa, 31/1/2023 ,Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materil terhadap UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Gugatan ini dilayangkan oleh seorang pemeluk agama Katolik bernama Ramos Petege karena ia gagal menikahi kekasihnya yang beragama Islam. Ramos Petege menyatakan bahwa UU Perkawinan ini membuat ia kehilangan kemerdekaannya dalam memeluk agama dan kepercayaannya karena ia harus berpindah agama terlebih dahulu jika ingin menikahi kekasihnya yang berbeda agama.
Atas dasar hal tersebut Ramos Petege menggugat UU Perkawinan ke MK, terdaftar dengan nomor perkara 71/PUU-XX/2022.

Akan tetapi MK memutuskan menolak keseluruhan gugatan uji materi atau Judicial Review (JR) terhadap Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 terkait pernikahan beda agama. Menurut Hakim MK Wahidudin Adams “Kaidah Pengaturan dalam norma Pasal 2 ayat (1) adalah perihal perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaan, bukan mengenai hak untuk memilih agama dan kepercayaaan” Kemudian Ketua MK Anwar Usman menegaskan “Mahkamah tetap pada pendiriannya terhadap konstitusionalitas perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya serta setiap perkawinan harus tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Semua bergerak perlahan, mungkin kalimatnya revisi tetapi maksudnya cenderung ingin dilegalkan. Khawatir kemudian bila hal lain yang bertentangan dengan agama dilegalkan juga, tentu ini tidak sejalan dengan amanat konstitusi. Sehingga menurut hemat kami, tindakan yang dilakukan oleh MK adalah benar dan tepat karena negara kita ini berideologikan Pancasila, bukan Sekuler. Indonesia merupakan negara beragama, wujud pelaksanaannya pun tertuang dalam sila pertama yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kemudian Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 juga menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Oleh karena itu masyarakat harus mengikuti hukum, bukan hukum yang mengikuti masyarakat. Kalau hukum itu mengikuti desakan masyarakat yang tidak paham maka Undang-Undang bisa menjadi karet sesuai keinginan dan kebencian orang-orang. Hukum tidak boleh menyalahi konstitusi, perkawinan adalah perintah agama, sehingga sah tidaknya suatu perkawinan harus sesuai dengan ajaran agama.
Dalam agama Islam, secara terang-terangan melarang perkawinan beda agama. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 221 menjelaskan bahwa : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Hal ini selaras dengan KHI pada bab larangan perkawinan tentang perkawinan antar pemeluk agama, Pasal 40 huruf (c) menyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama islam. Kemudian dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 10 menjelaskan bahwa : Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Selanjutnya, MUI melalui Keputusan Nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 mengeluarkan fatwa tentang hukum larangan pernikahan beda agama. Pada prinsipnya menyimpulkan bahwa : Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah; dan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.

Sedangkan Nahdlatul Ulama (NU) dalam fatwa yang ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989, NU menegaskan nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah. Selanjutnya organisasi Muhammadiyah dalam keputusan Muktamar Tarjih ke-22 Tahun 1989 di Malang Jawa Timur telah mengatakan tidak boleh menikahi wanita non-muslimah atau ahlul kitab.

Namun apa yang terjadi jika MK telah mengeluarkan keputusan melarang perkawinan beda agama akan tetapi disamping peraturan itu semua terdapat wewenang dari Pengadilan dalam Pasal 35 huruf (a) UU Adminduk yang menyatakan bahwa perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat-umat yang berbeda dengan agama. Peraturan ini mengambil kebijakan berdasarkan asas kesejahteraan yang kemudian hanya mendapatkan sah dimata negara, tidak mempedulikan kembali bagaimana sahnya suatu perkawinan dimata agama.

Jika kita tinjau kembali tentu hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan yang secara eksplisit melarang pemberlakukan perkawinan beda agama. Sehingga perlu untuk menghimbau kepada Para Hakim Pengadilan Negeri yang berada di lingkungan MA supaya tunduk pada keputusan MK, dengan adanya keputusan MK ini apabila mereka dihadapkan oleh permohonan pengesahan perkawinan beda agama maka hal ini tidak boleh berlaku dan tidak boleh terulang lagi supaya tercapainya tertib hukum yang kembali sejalan dengan norma hukum tertinggi yakni Undang-Undang Dasar dan agama yang diakui di negara hukum Indonesia. MK menegaskan bahwa menurut UUD 1945 memang mengakui suatu perkawinan sah, sah disini adalah sah sesuai menurut ajaran agama.

Kesimpulannya adalah baik menurut negara maupun agama, perkawinan beda agama sangat tidak diperkenankan karena Indonesia sebagai negara non sekuler tidak diperbolehkan melangsungkan perkawinan beda agama. Sehingga sudah sepatutnya perkawinan dilaksanakan dalam satu jalur agama.

MK sudah tepat melarang perkawinan beda agama. Terlepas dari pro dan kontra, konstitusi kita yang pertama adalah berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Agama manapun menyarankan lebih baik untuk mencari pasangan yang se-iman.

Dalam hal perkawinan beda agama tetap dilakukan maka itu merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Oleh karena itu penting bagi setiap orang yang akan menikah, baik yang beragama Islam ataupun agama lainnya supaya dapat memahami terlebih dahulu mengenai hukum di agama Islam atau agama lain khususnya mengenai perkawinan dan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia supaya tahu bahwa perkawinan beda agama merupakan hal yang dilarang.


Ditulis oleh : Iwan Sumiarsa S.H ( Pembina LBH Keadilan Rakyat )dan Tita Nurhayati S.H. ( Para Legal ).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *